DaerahNasional

Cahyo Gani Saputro: Serapan Asiprasi dan Sosialisasi RUU HIP-RUU Omnibus Law Cipta Kerja Tidak Maksimal

Jakarta, FokusBanten – Sejumlah rancangan undang-undang yang diinisiasi Dewan Perwakilan Rakyat RI maupun pemerintah kerap menimbulkan pro-kontra, bahkan kontroversi di masyarakat. Ini menunjukkan kurangnya penyerapan aspirasi dari DPR dan sosialisasi oleh pemerintah.

Sekretaris Jenderal DPN Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (ISRI), Cahyo Gani Saputro, mengatakan seharusnya pembentuk undang-undang ketika hendak merumuskan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang mengundang stakeholder yang benar- benar berkaitan dengan kepentingannya atau interest.

“Seharusnya ketika mau merumuskan RUU Cipta Kerja, mereka hadirkan organ-organ buruh dan lainnya untuk didengar suaranya. Begitu juga untuk RUU HIP perlu mengundang ormas keagamaan, ormas sosial politik dan ormas kebudayaan guna dengar pendapat,” ucapnya ke pihak media (14/6/2020).

Menurut Cahyo, setelah Naskah Akademik atau Draf Rancangan Undang-Undang jadi, perlu sosialisasi ke masyarakat luas dalam jangka beberapa waktu. Hal ini perlu untuk penyempurnaan Sistem Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, apalagi sekarang metode omnibus diimplementasikan dalam pembentukan dan perubahan undang-undang. Tentunya metode omnibus law harus selaras dengan konstitusi dan perundang-undangan lainnya, karena secara historis Indonesia lebih mengenal dan menganut kodifikasi hukum.

Cahyo juga menambahkan pembentuk rancangan undang-undang HIP harus memahami filosofi ataupun kesejarahan hukum, sosiologis atau pranata sosial masyarakat selain yuridis formal. Penting membedakan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 dengan konsensus bangsa yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa dari BPUPK hingga PPKI.

“Para pendiri dalam musyawarah mufakat telah berkonsensus menerima Panca Sila sebagai Dasar Indonesiar Merdeka atau Dasar Negara, sedangkan Tri Sila ataupun Eka Sila adalah tawaran nama yang ditawarkan Bung Karno kepada seluruh peserta musyawarah. Artinya muatan materi undang-undang sebaiknya mengutamakan subtansi,” terangnya. Kemudian terkait paham-paham yang dianggap bertentangan dengan Pancasila seperti Komunisme (Marxisme-Leninisme), khilafahisme, radikalisme, terorisme, Kapitalisme-Liberalisme sebenarnya telah dimuat dalam Undang-Undang Organisasi Masyarakat.

Sekjen DPN ISRI ini mengingatkan soal penguatan kelembagaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), dari bentuk Perpres menjadi undang-undang. “Pembentuk hukum dalam pembentukan hukum kurang tepat bila pembahasanya tidak fokus, justru lari kemana-mana. Hal ini membingungkan para stakeholder. Sebenarnya Rancangan Undang-Undang ini mau kemana, jikalau guna memperkuat Garis Besar Haluan Ideologi Pancasila yang telah dirumuskan oleh BPIP dan operasionalisasi Pancasila. Fokusnya yaitu penguatan Kelembagaan Ideologi Pancasila dan operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” urainya.

Cahyo Gani Saputro menyimpulkan, sebenarnya yang paling urgen adalah revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional untuk menjadikan Pendidikan Pancasila sebagai mata ajar wajib dalam semua tingkatan pendidikan, dari PAUD hingga perguruan tinggi. [A23]

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
Close
Close